Alkisah, dulu pada jaman Homo Erectus, pohon jati sudah ada. Setiap masa pancaroba, laboh, setelah hujan pertama, tanah hutan menjadi lembab dan hangat. Telur ulat jati menetas menjadi ulat. Saat itu mereka bebas hidup, bermetamorfose hingga menjadi kaper. Memang tiada seindah kupu gajah. Tak seputih Kaper Petak. Namun cukup merdeka untuk menjadi apa yang seharusnya. Sesuai kodrat mereka.
Waktupun berlalu. Nenek moyang di Kabupaten Blora telah berevolusi menjadi Homo Sapien. Semakin kreatif memanfaatkan sumber daya. Sumber daya alam maupun potensi diri. Mulai saat itulah enthung jati tak lagi merdeka. Mereka mulai dimasak, dengan cara dikukus menggunakan bumbu cabai, tomat atau belimbing wuluh.
Mereka hidup relative sebentar. Dari telur yang terkubur dibawah permukaan tanah, menetas menjadi ulat-ulat kecil. Memanjat pohon jati untuk memakan daunnya. Tumbuh membesar dalam waktu singkat. Selama menjadi ulat, mereka harus berjuang hidup. Jatuh ke tanah kemudian memanjat pohon lagi menggunakan benang halusnya, ataukah menjadi makanan burung yang selalu menanti musim hadirnya.
Bila bernasib baik, mereka akan melanjutkan hidup dengan bertapa. Menggulung lembar daun yang tersisa menggunakan benang halus yang dihasilkannya sendiri. Kemudian hanya diam. Pada saat diam itulah metamorphosis terjadi. Selama proses metamorphosis, gulungan daun itu mengering. Jatuh terhempas angin atau tak kuasa menahan derasnya hujan.
Pada saat menjadi kepompong, bencana besar sering melanda. Kepompong yang tak mampu berbuat apa-apa harus pasrah pada para pemangsa. Yang ditakdirkan lolos, dapat mencapai puncak metamorphose menjadi kaper. Bagi yang tidak lolos, akan menjadi makanan semut, dipatuk ayam, atau menjadi hidangan di atas meja.
Saksikan video lengkap dengan klik link ini : BALADA ENTHUNG JATI SEJAK JADI MAKANAN PURBA HOMO SAPIEN DI BLORA
Dikarang oleh Heri ireng.